Pada
tanggal 6 Januari 2016, Wayan Mirna Salihin, 27 tahun, meninggal dunia setelah
meminum Kopi es vietnam di Olivier Café, Grand Indonesia. Saat kejadian, Mirna
diketahui sedang berkumpul bersama kedua temannya, Hani dan Jessica Kumala
Wongso. Menurut hasil otopsi pihak kepolisian, ditemukan pendarahan pada
lambung Mirna dikarenakan adanya zat yang bersifat korosif masuk dan merusak
mukosa lambung. Belakangan diketahui, zat korosif tersebut berasal dari asam
sianida. Sianida juga ditemukan oleh Puslabfor Polri di sampel kopi yang
diminum oleh Mirna. Berdasarkan hasil olah TKP dan pemeriksaan saksi, polisi
menetapkan Jessica Kumala Wongso sebagai tersangka. Jessica dijerat dengan
pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana.
Setelah
melewati beberapa kali persidangan, Jessica Kumala Wongso pada akhirnya
dituntut 20 tahun penjara atas tindak pidana pembunuhan yang diatur dalam Pasal
340 KUHP. Dalam tuntutannya, jaksa menyebutkan bahwas Jessica diyakini terbukti
bersalah meracuni Mirna dengan menaruh racun sianida dengan kadar 5 gram.
Jessica disebut menutupi aksinya dengan cara meletakkan 3 kantong kertas di
meja nomor 54.
Pada
27 Oktober 2016, Jessica Kumala Wongso dijatuhi vonis pidana penjara selama 20
tahun.
7
Opini Menelisik Kasus Kematian Mirna
Tak
hanya Kopi Gayo, "Kopi Sianida" pun tak kalah hangat mengemuka
menjadi bahan perbincangan. Tidak hanya pihak kepolisian dan media yang tampak
gandrung dengan kasus di balik secangkir kopi yang disaji di bilangan Grand
Indonesia, tetapi juga masyarakat luas. Bukan pula aromanya yang pekat memikat,
tetapi kasus sarat misteri yang tak jua usai yang menewaskan Wayan Mirna Saihin
(27), setelah meneguk es kopi vietnam di Kafe Olivier, Grand Indonesia, Jakarta
Pusat.
Lalu,
bagaimana persepsi Kompasianer seraya menantikan kasus ini tersibak? Berikut
ini tujuh ulasannya yang disaji dalam rangkai kata di laman Kompasiana:
1. Kopi Sianida Mirna: Jessica Korban
“Trial by Press”, Beda dengan Pembunuh Salim Kancil
Kematian
Mirna dan kematian Salim Kancil tampaknya menjadi ruang belajar yang menarik
dari sudut pemberitaan. Sekalipun Salim Kancil menentang Kepala Desanya yang
menambang pasir illegal merusak lingkungan dan akhirnya mati demi lingkungannya
yang lebih baik, tampaknya kurang menjadi berita besar dan tidak ada update
harian dari Polri dan kini menjadi senyap sejak Oktober 2015 lalu. Demikian
analisa Ninoy Karundeng dalam memperbandingkan dua buah kasus yang sama-sama
berlatar pembunuhan.
Kematian
Mirna yang konon anak pejabat dan orang kaya, menurut Ninoy, jelas menjadi
perhatian. Berbeda dengan kematian ‘orang biasa’ setiap hari akibat kecelakaan
yang disorongkan ke lemari pendingin di RSCM – yang sebagian menjadi ajang
praktik gratis mahasiswa kedokteran untuk pemusaraan jenazah dan otopsi.
Berbeda
dengan Salim Kancil yang tak mendapatkan ruang yang cukup lega dalam medan
peliputan. KOMPAS/DAHLIA IRAWATI Aktivis Sedulur Tunggal Roso (gabungan
berbagai organisasi di Malang Raya) asal Malang, Senin (28/9), berunjuk rasa
menyuarakan solidaritas kasus terbunuhnya petani Desa Selo Awar-Awar, Lumajang,
yang menolak tambang pasir. Mereka menuntut kasus dituntaskan dan kebebasan
masyarakat bersuara atas haknya dijamin.
2. Bagaimana Cara menemukan Tersangka
Pembunuh Mirna?
Menurut
Reza, tugas polisi untuk menguak kasus pembunuhan terhadap Mirna memang tidak
mudah. Dari sekian orang yang berada di dekat Mirna sesaat sebelum kejadian
harus diperiksa satu-per satu. Semuanya berpotensi menjadi tersangka.
Penyebab
kematian Mirna dalam kasus ini sudah jelas, yakni sianida. Pertanyaannya
kemudian bagaimana caranya sianida (alat pembunuh) itu bisa sampai mengenai
korban. Tingkat Kesulitannya sangat tinggi karena senjata pembunuhnya tidak
kasat mata. Ini merupakan tantangan besar bagi polisi untuk bisa mengungkapnya.
3. Sianida Harganya Cuma Rp 38.700 per
Gram tetapi Mematikan
Kemudahan
untuk menjual dan membeli bahan kimia seharusnya menjadi perhatian aparat
berwenang agar tidak setiap orang dapat memperolehnya dengan mudah. Hal inilah
yang menjadi sorotan Indira Revi, mengingat harga per gram sianida terbilang
terjangkau yakni Rp. 38.700 per Gram.
Cara
memperoleh sianida pun cukup mudah. Pembelian dapat dilakukan secara online
atau langsung datang ke toko kimia atau farmasi. Indira teringat sewaktu
membeli bahan kimia untuk keperluan praktikum hanya ditanya oleh penjualnya,
maksud dan tujuan membelinya. Padahal yang dibeli bukan sianida!
Oleh
karena itu menurutnya pihak penjual seharusnya patut memposisikan sikap
mencurigai (khususnya terhadap pembeli bahan kimia sianida atau pun arsenik),
dan bila perlu menolak pembelinya jika penggunanya tidak jelas. Setiap elemen
harus sadar kegunaan dalam hal proses jual beli bahan kimia.
4. Kasus Kopi Maut: Polisi Lebay?
Sejak
beredarnya berita tentang kematian Mirna, kasus ini rupanya menyita perhatian
publik dan menanti kabar bak benang kusut ini segera terurai.
Dua
puluh hari sejak kematian Mirna, pihak kepolisian pun belum juga menetapkan
siapa yang menjadi tersangka. Dalam
pengamatan Mike Reyssent di berbagai media, setiap hari polisi terlihat “hanya”
sibuk membuat statement di media, beradu argumen (debat kusir) dengan pengacara
saksi dan menggiring opini publik.
Mike
pun mempertanyakan, apakah sepenting itu Polisi setiap hari (bahkan sehari bisa
lebih dari dua atau tiga kali) membuat statement di media? Apakah tidak
sebaiknya polisi lebih mengedepankan kerja secara taktis dan praktis ketimbang
bikin rumor terus?
Masyarakat
pun berharap Polisi tidak melampaui batas kewajaran.
5. Kasus Kopi Bersianida: Pengamat dan
Media Latah, Masyarakat Dirugikan
Dari
banyak suara yang berserakan di media tentang kasus Mirna ini, ada hal yang
menggelisahkan Hendra Wardhana menyoal kekeliruan media-media yang mengutip dan
mengabarkan kepada masyarakat secara berulang-ulang.
Salah
satu kekeliruan logika yang disuguhkan oleh beberapa media dan pengamat dalam
kasus kopi sianida adalah perihal konsentrasi sianida. Kepolisian menyebutkan
konsentrasi sianida pada minuman kopi Mirna sebesar 15 gr/L. Akan tetapi,
banyak media dan pengamat tersesat dengan menyebutkan “ada 15 gram sianida di
kopi Mirna”.
Dalam
analisis Hendra Wardhana, besarnya konsentrasi 15 gr/L adalah bahasa
perbandingan antara 15 gram sianida dalam 1 liter minuman kopi. Tidak ada yang
salah dengan angka ini karena konsentrasi memang sebaiknya dituliskan dalam
bilangan yang bulat dalam satuan yang lazim berlaku secara internasional maupun
menurut kaidah ilmu pengetahuan.
Besaran
15 gram bukanlah jumlah faktual sianida di dalam minuman kopi Mirna. Jumlahnya
jauh di bawah itu karena volume kopi Mirna juga tak sampai 1 liter. Sayangnya,
perihal makna konsentrasi yang gagal dipahami ini kemudian dijadikan salah satu
premis untuk menyusun berbagai analisis oleh pengamat dan media.
6. Menguak Sisi lain Munir
Sembari
menyisir kasus kematian Mirna dan kopi sianida, tak ada salahnya berteduh
sejenak merenungi sosok korban kasus pembunuhan berbahan zat kimia arsenik.
Munir, ialah aktivis HAM yang terbunuh di dalam kabin Garuda Indonesia yang
hendak mereguk impian di Universitas Utrecht, Belanda.
Rushan
Novally pun tak perlu berlelah-lelah mengupas kembali sepak terjang pejuang
kaum buruh ini. Namun tulisannya kali ini menyoroti tentang Munir sebagai pribadi, yakni Munir
sebagai manusia pada umumnya.
Munir
yang sejak muda langkah keberaniannya terbentuk dari kehidupan di pasar
(menunggui kios sepatu milik keluarga) memang menjadikan orang yang ada di
dalamnya hidup dalam tekanan, struggle dan sikap tak boleh menyerah.
Untuk
urusan berkelahi pun, Munir pantang untuk mundur. Bersedia berkelahi dengan
siapa saja yang menurutnya pantas untuk dilawan. Berani membela orang lain yang
ditindas walaupun ia tak mengenalnya.
Jalan
kehidupan Munir memang tampak berbeda dengan Mirna, korban yang meneguk kopi
Vietnam, namun muara hidupnya nyaris sama yang terbunuh dalam bingkai kisah
dengan zat kimia mematikan. Shutterstock
/ Ilustrasi racun.
7. Sianida Kata-kata
Hingga
kini cerita utuh mengenai pembunuhan Mirna itu masih belum tuntas.
Pemberitaannya pun demikian masif. Terkadang kata-kata seseorang yang masih
diragukan kebenarannya mendapatkan publikasi layak sehingga tak dapat dibedakan
lagi mana fakta, mana opini. Alhasil, cerita yang beredar di masyarakat menjadi
simpang siur tak karuan.
Dalam
tulisannya di laman Kompasiana, Yumei Sulistyo ingin menyampaikan bagaimana menyikapi sesuatu di era informasi
tanpa batas ini. Dalam kondisi gonjang-ganjing informasi, kebenaran yang absurd
masuk ke dalam otak manusia tanpa disadari. Hingga tanpa disadari otak selalu
memilih jalan termulus dan lebih mudah, percaya dengan apa yang
terpublikasikan.
Yumei
mengungkapkan, rangkaian kata memang bersifat netral. Tapi, kata-kata bisa
menjadi obat atau racun, tergantung niat orang yang menggunakannya. Seperti
juga ilmu kimia, yang dapat dimanfaatkan dalam bidang kesehatan atau malah bisa
membunuh manusia.
Tentu
kita berharap, agar sianida tak berubah wujud dalam rupa kasat mata dalam
bentuk rangkaian kata dan berita yang beredar, yang mampu menghilangkan
kejernihan jiwa untuk berpikir dalam menerima segala infomasi. Dian
Ardiahanni/Kompas.com Dermawan Salihin, Ayah Wayan Mirna Salihin (27) di
Mapolda Metro Jaya, Jakarta pada Kamis (28/1/2016).
Tanda
tanya kian seolah tak terelakkan. Menanti menyusut dalam riuhnya Kopi Sianida
yang mendebarkan. Keadilan pun menunggu fajar untuk ditegakkan, seirama dengan
hati jernih memasok rupa berita pembunuhan yang hingga kini terus melaju
melawan kekusutan. (KOB)
Apa pendapat anda
mengenai Kasus Pembunuhan Kopi Sianida Mirna Salihin?
Ada banyak hal yang mungkin saja hanya diketahui oleh
Mirna, Jessica dan Tuhan. Bagaimana hubungan pertemanan mereka, apa alasan
Jessica membunuh Mirna. Polisi, JPU dan media hanya tahu apa yang Jessica
putuskan untuk diceritakan. Banyak pembelaan dan sangkalan bahwa Jessica
bukanlah tersangka. Lolos lie detector
dan tidak ingat apa yang terjadi pada hari dimana Mirna menghembuskan nafas
terakhirnya.
Opini masyarakat mengenai kasus pembunuhan Mirna Salihin
ini juga beragam.
Tapi apa yang sebenarnya terjadi? Kita hanya bisa melihat
dan membuat opini masing-masing.
Jessica divonis 20 tahun. Banyak masyarakat yang
berpendapat bahwa hukuman tersebut tidak setimpal. Begitupula dengan saya, saya
pun tidak setuju dengan 20 tahun vonis Jessica. Ia telah mengambil hak hidup
seseorang. Menurut pendapat saya (yang tidak expert mengenai hukum di Indonesia) vonis tersebut masih kurang. Mengingat
orang yang telah dibunuh Jessica adalah teman dekatnya sendiri.
Source:
http://www.kompasiana.com/kompasiana/7-opini-menelisik-kasus-kematian-mirna_56c76f030223bd550aa5421b
Tidak ada komentar:
Posting Komentar